Postingan
ini berisi pembahasan tentang salah satu segi dari ajaran Islam yang seharusnya
mendapat perhatian dan pengkajian kembali. Sebagian aspek keimanan mendapat
perhatian dan pengkajian yang begitu intensif, sehingga muda didapat dan
diketengahkan pada masyarakat. Aspek yang akan dikaji dalam makalah ini adalah
aspek kejiwaan dan nilai. Dalam aspek ini belum tersingkap kebenaran nilai yang
dikandungnya, atau belum mendapat perhatian seperti perhatian terhadap aspek
lainnya. Kecintaan kepada Allah, ikhlas beramal hanya karena-Nya, serta
mengabdikan diri dan tawakal sepenuhnya kepada-Nya, merupakan nilai keutamaan
yang perlu diperhatikan dan harus diutamakan dalam menyempurnakan cabang-cabang
keimanan.
Sesungguhnya
amalan lahiriah berupa ibadah mahdhah dan muamalah tidak akan mencapai
kesempurnaan, kecuali jika di dasari dan diramu dengan nilai keutamaan
tersebut. Sebab nilai-nilai tersebut senantiasa mengalir dalam hati dan
tertuang dalam setiap gerak serta perilaku keseharian.
Pendidikan
modern telah menyerbu dari berbagai arah dan pengaruhnya telah sedemikian
merasuki jiwa generasi penerus. Jika tidak pandai membina jiwa dan akal budi
mereka,” maka mereka tidak akan selamat dari pengaruh negative pendidikan
modern. Mungkin mereka meresakan ada yang kurang dalam spiritualitasnya dan berusaha
menyempurnakan dari sumber-sumber lain. Bila ini terjadi, maka perlu segera
diambil tindakan, agar pintu spiritualitas yang terbuka tidak diisi oleh ajaran
lain yang bukan berasal dari ajaran spiritualitas Islam.
Seorang
muslim yang paripurna adalah yang nalar dan hatinya bersinar, pandangan akal
dan hatinya tajam, akal piker dan nuraninya berpadu dalam berinteraksi dengan
Allah dan dengan sesama manusia, sehingga sulit diterka mana yang lebih dahulu
berperan kejujuran jiwanya atau kebenaran akalnya. Sifat kesempurnaan ini
merupakan karakter Islam, yaitu agama yang membangun kemurnian akidah atas
dasar kejernihan akal dan membentuk pola piker teologis yang menyerupai
bidang-bidang ilmu eksakta, karena dalam segi akidah, Islam hanya menerima
hal-hal yang menurut ukuran akal sehat dapat diterima sebagai ajaran akidah
yang benar dan lurus.
Pilar
akal dan rasionalitas dalam akidah Islam tercermin dalam aturan muamalat yang
ditawarkan pada manusia dan dalam memberikan solusi serta terapi bagi persoalan
yang dihadapi yang senantiasa muncul dari waktu ke waktu. Selain itu Islam
adalah agama ibadah. Ajaran tentang ibadah didasarkan atas kesucian hati yang
dipenuhi dengan keikhlasan, cinta, serta dibersihkan dari dorongan hawa nafsu,
egoisme, dan sikap ingin menang sendir. Agama seseorang tidak sempurna, jika
kehangatan spiritualitas yang dimiliki tidak disertai dengan pengalaman ilmiah
dan ketajaman nalar. Pentingnya akal bagi iman ibarat pentingnya mata bagi
orang yang sedang berjalan.
Konsep Menurut Pemikiran Barat
Yang dimaksud konsep ketuhanan menurut pemikiran manusia
adalah konsep yang didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah
maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman
batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori Evolusionisme, yaitu teori
yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana,
lama-kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan
oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock
dan Jevens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori
Evolusionisme adalah sebagai berikut :
- Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak
zaman primitive telah mengakui adanya kekuatan yang berpengaruh dalam
kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada benda.
Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada
pula yang berpengaruh negate. Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama
yang berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu), syakti
(India), dan kami dalam bahasa Jepang.
Mana adalah kekuatan gaib yang tidak
dapat dilihat atau diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu dianggap
sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun mana itu tidak dapat diindera, tetapi
ia dapat dirasakan pengaruhnya.
- Animisme
Di samping kepercayaan dinamisme,
masyarakat primitif juga mempercayai adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap
benda yang dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat primitive, roh
dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh
karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa
senang, rasa tidak senang, serta mempunyai kebutuhan-kebutuhan. Roh akan senang
apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak
terkena efek negative dari roh-roh tersebut, manusia harus berusaha memenuhi
atau menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan advis dukun
adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.
- Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan kepercayaan animisme lama-lama
tidak memberikan kepuasan, karena terlalu banyaknya yang menjadi sanjungan dan
pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai
tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada dewa yang
bertanggungjawab terhadap cahaya, ada yang membidangi masalah air, ada yang
membidangi angina dan lain sebagainya.
Semula antara satu dewa dengan dewa yang lain mempunyai
kedudukan yang sama atau sederajat. Lambat-laun dianggap hanya satu dewa yang
mempunyai kelebihan dari dewa yang lain, meskipun dewa-dewa yang ada di
bawahnya tetap mempunyai pengaruh. Pada agama Hindu misalnya, ada tiga dewa
yang dianggap tinggi yaitu : Brahmana, Syiwa, dan Wisnu. Kepercayaan terhadap
tiga dewa senior tersebut dikenal dengan istilah Trimurti (Tiga
sembahan). Di samping trimurti, dikenal pula konsep Tritunggal
(trinitas). Pada agam Kristen yang diartikan Tuhan ialah Allah Bapak, Yesus
Kristus, dan Roh Kudus.
- Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan
terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui
diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama.
Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu).
Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia
masih mengakui Tuhan (Allah) dari bangsa lain. Kepercayaan semacam ini yaitu
satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan tingkat
Nasional).
- Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk henoteisme
melangkah menjadi monoteisme. Dalam monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk
seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari
filsafat ketuhanan terbagi dalam tiga paham yaitu : deisme, panteisme, dan
teisme.
a) Deisme yaitu suatu paham yang berpendapat bahwa Tuhan sebagai
pencipta alam berada di luar alam. Tuhan menciptakan alam dengan sempurna dank
arena telah sempurna, maka alam bergerak menurut hokum alam. Antara alam dengan
Tuhan sebagai penciptanya tidak tidak lagi mempunyai kontak. Ajaran Tuhan yang
dikenal dengan wahyu tidak lagi diperlukan manusia. Dengan akal manusia mampu menanggulangi
kesulitan hidupnya.
b) Panteisme berpendapat bahwa Tuhan sebagai pencipta alam ada bersama
alam. Di mana adal alam di situ ada Tuhan. Alam sebagai ciptaan Tuhan merupakan
bagian daripada-Nya. Tuhan ada di mana-mana, bahkan setiap bagian dari alam
adalah Tuhan.
c) Teisme (eklektisme) berpendapat bahwa Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta alam
berada di luar alam. Tuhan tidak bersama alam dan Tuhan tidak ada di alam.
Namun Tuhan selalu dekat dengan alam. Tuhan mempunyai peranan terhadap alam sebagai
ciptaan-Nya. Tuhan adalah pengatur alam. Tak sedikit pun peredaran alam
terlepas dari control-Nya. Alam tidak bergerak menurut hokum alam, tetapi gerak
alam diatur oleh Tuhan.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana
dinyatakan oleh Max Muller dan EB. Taylor (1877), kemudian ditentang oleh
Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat primitif.
Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama
monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada
ujud yang Agung dan sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak
mereka berikan kepada wujud yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur
golongan evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama
terutama di Eropa Barat, mulai menantang Evolusionisme dan memperkenalkan teori
baru untuk memahami sejarah agama. Meraka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan
tidak datang secara evolusi, tetapi dengan relevasi atau wahyu. Kesimpulan tersebut
diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki
oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan itu didapatkan
bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme
dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan.
Wilhelm Schmidt dalam mengungkapkan hasil penyelidikannya
tidak mendasarkan, atau terpengaruh oleh fasal-fasal dalam Bible. Ia menulis
dari segi Antropologi dan mendasarkan alasannya pada data yang dikumpulkan oleh
berpuluh-puluh peneliti dan sarjana yang meng-alami hidup bersama-sama dengan
masyarakat primitif. Penelitian itu dilakukan antara lain terhadap suku
Negritos dari kepulauan Philipina, pelbagai suku dari Micronesia dan Polynesia,
dan suku Papua dari Irian.
Berdasarkan penelitian terhadap pelbagai masyarakat
primitive tersebut, ia mengambil kesimpulan bahwa kepercayaan tentang Tuhan
Yang Maha Agung dan Esa adalah bentuk tertua, yang ada sebelum kepercayaan lain
seperti dinamisme, animisme, dan politeisme.
Konsep Menurut Pemikiran Umat Islam
Pemikiran terhadap Tuhan yang
melahirkan ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, atau Ilmu Ushuluddin di kalangan umat
Islam, timbul sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Secara garis besar, ada aliran
yang bersifat liberal, tradisional, dan ada pula yang bersifat di antara
keduanya. Ketiga corak pemikiran ini telah mewarnai sejarah pemikiran ilmu
ketuhanan dalam Islam.
Satu hal yang perlu diingat, bahwa
masih-masing menggunakan akal pikiran atau logika dalam mempertahankan pendapat
mereka. Hal ini perlu ditekankan, sebab satu hal pokok yang menyebabkan
kemunduran umat Islam ialah kurangnya penggunaan kemampuan akal pikirannya
dalam mengkaji nilai-nilai yang menurut pemikiran manusia atau nilai yang murni
bersumber dari ajaran Islam yakni al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Di antara aliran
pemikiran tentang Tuhan adalah :
- Aliran Mu’tazilah yang merupakan kum rasionalis di kalangan muslim, serta menekankan pemakaian akal pikiran dalam memahami semua ajarandan keimanan dalam Islam. Orang Islam yang berbuat dosa besar, tidak kafir dan tidak mukmin. Ia berada di antara posisi mukmin dan kafir (manzilah bainal manzilatain).
Dalam menganalisis ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu
logika Yunani, satu sistem teologi untuk mempertahankan kedudukan keimanan.
Hasil dari paham Mu’tazilah yang bercorak rasional ialah muncul abad kemajuan
ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun kemajuan ilmu pengetahuan akhirnya menurun
dengan kalahnya mereka dalam perselisihan dengan kaum Islam ortodoks.
Mu’tazilah lahir sebagai pecahan dari kelompok Qadariah, sedang Qadariah adalah
pecahan dari Khawariji.
- Qadariah yang berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak atau berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia akan kafir atau mukmin dan hal itu yang menyebabkan manusia harus bertanggungjawab atas perbuatannya.
- Berbeda dengan Qadariah, kelompok Jabariah yang merupakan pecahan dari Murji’ah berteori bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat. Semua tingkah laku manusia ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan.
- Kelompok yang tidak sependapat dengan Mu’tazilah mendirikan kelompok sendiri, yakni kelompok Asy’ariyah dan Maturidiniayah yang pendapatnya berada di antara Qadariah dan Jabariah.
Semua kelompok itu mewarnai kehidupan pemikiran ketuhanan
dalam kalangan umat Islam periode masa lalu. Menghadapi situasi dan
perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini, tiada lain bagi kita untuk
mengadakan koreksi yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnag Rasul, tanpa
dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu. Di antara aliran tersebut yang
nampaknya lebih dapat menunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan meningkatkan
etos kerja adalah aliran Mu’tazilah dan Qadariah.
Pembuktian Adanya Tuhan
- Metode Pembuktian Ilmiah
Persoalan tantangan zaman modern terhadap agama terletak
dalam masalah metode pembuktian. Metode ini menganal hakekat melalui percobaan
dan pengamatan, sedang akidah agama berhubungan dengan alam di luar indera,
yang tidak mungkin dilakukan percobaan (agama didasarkan pada analogi dan
induksi). Hal inilah yang menyebabkan menurut metode ini agama batal, sebab
agama tidak mempunyai landasan ilmiah.
Sebenarnya problema zaman modern ini juga batal, sebab juga
tidak mempunyai landasa ilmiah. Metode baru tidak mengingkari wujud sesuatu, walaupun
berlum diuji secara empiris. Di samping itu metode ini juga tidak menolak
analogi antara sesuatu yang tak terlihat dengan sesuatu yang telah diamati
secara empiris. Inilah yang disebut dengan “analogi ilmiah” dan dianggap sama
dengan percobaan empiris.
Suatu percobaan tidak dipandang sebagai kenyataan ilmiah
hanya karena percobaan itu dapat diamati secara langsung. Demikian pula suatu
analogi tidak dapat dianggap salah, hanya karena dia analogi. Kemungkinan benar
dan salah dari keduanya berada pada tingkat yang sama.
Kita mengetahui bahwa percobaan dan pengamatan bukanlah
metode sains yang pasti. Ilmu pengetahuan tidaklah terbatas pada persoalan yang
dapat diamati dengan hanya penelitian secara empiris saja. Teori yang
disimpulkan dari pengamatan merupakan hal-hal yang tidak punya jalan untuk
mengobservasinya. Orang yang mempelajari ilmu pengetahuan modern hanyalah
merupakan interpretasi terhadap pangamatan dan pandangan tersebut belum dicoba
secara empiris. Oleh karena itu banyak sarjana percaya adanya hakekat yang
tidak dapat diindera secara langsung. Sarjana manapun tidak mampu melangkah
lebih jauh tanpa memegangi kata-kata seperti : “Gaya” (force), “energy”,
“alam” (nature), dan “hokum alam”. Padahal tidak ada seorang sarjana pun
mengenal apa itu : “Gaya, energi, alam dan hokum alam”. Sarjana tersebut tidak
mampu memberikan penjelasan terhadap kata-kata tersebut secara sempurna, sama
seperti ahli theology yang tidak mampu memberikan penjelasan tentang sifat
Tuhan. Keduanya percaya sesuai dengan bidangnya pada sebab-sebab yang tidak
diketahui.
Dalam hal ini Prof. A.E. Mender berkata :
“Fakta yang dapat diketahui secara langsung disebut dengan
“fakta yang dapat diindera”, sedang fakta yang dikenal tidak terbatas pada
fakta yang dapat diindera saja. Banyak fakta lain yang tidak dapat diketahui
secara langsung, tetapi jelas telah dikenal. Adapun metode untuk mengetahui
fakta ini adalah dengan cara induksi. Bentuk fakta yang demikian disebut dengan
“fakta yang induktif”. Yang penting di sini ialah kita harus mengerti bahwa
antara kedua fakta tersebut tidak ada perbedaannya. Perbedaannya terletak pada
penamaannya, yang pertama diketahui secara langsung, sedangkan yang kedua lewat
perantara. Fakta tetaplah fakta, baik yang diketahui dengan pengamatan ataupun
dengan jalan induksi”.
Teori yang demikian kompleks misalnya hokum gravitasi yang
sukar dimengerti dan tidak ada cara untuk mengamatinya, dianggap sebagai
kenyataan ilmiah tanpa reserve, sebab teori tersebut dapat menjelaskan sebagian
pengamatan kita. Oleh karena itu tidak merupakan suatu keharusan bahwa suatu
yang dikenal secara langsung dan empiris sudah merupakan kenyataan. Dengan
demikian pernyataan yang mengatakan bahwa kepercayaan yang mengikat sejumlah
pengamatan dan menjelaskan kepada kita kandungannya secara umum, dengan cara
yang sama dapat pula dianggap sebagai kenyataan ilmiah.
Dengan demikian tidak berarti bahwa agama adalah “iman
kepada yang ghaib” dan ilmu pengetahuan adalah percaya kepada “pengamatan
ilmiah”. Sebab, baik agama maupun ilmu pengetahuan kedua-duanya berlandaskan
pada keimanan kepada yang ghaib. Hanya saja ruang lingkup agama yang sebenarnya
adalah ruang lingkup “penentuan hakekat” terakhir dan asli, sedangkan ruang
lingkup ilmu pengetahuan terbatas pada pembahasan cirri-ciri luar saja. Kalau
ilmu pengetahuan memasuki bidang penentuan hakekat, yang sebenarnya adalah
bidang agama, berarti ilmu pengetahuan telah menempuh jalan iman kepada yang
ghaib. Oleh sebab itu harus ditempuh bidang lain, seperti yang dikatakan oleh Sir
Arthur Eddington :
“Dengan demikian kita akan mendapatkan bahwa tiap sesuatu
mempunyai satu gambar dengan dua sisi. Pertama sisi yang dapat diindera dan
sisi kedua berbentuk ide yang tidak mungkin diamati, walaupun dengan
mempergunakan mikroskop atau teleskop.
Sisi yang pertama adalah sisi yang dapat diamati oleh ilmu
pengetahuan dan dapat disaksikan dari jarak yang jauh sekali. Namun demikian
ilmu pengetahuan tidak dapat menyatakan bahwa dia telah melihat sisi yang
kedua. Metode ilmiah modern hanya dapat memberikan pendapat tentang suatu
benda., setelah mengadakan pengamatan terhadap cirri-cirinya. Sedangkan ilmu
pengetahuan yang membahas “bidan kedua” yang berupa pengenalan dan penentuan
hakekat, adalah membahas sesuatu hakekat yang belum diketahui dengan mempergunakan
kenyataan yang dapat diindera.
Apa yang disebut fakta yang dapat diindera dalam dunia,
sebetulnya bukan fakta yang betul-betul telah diamati, tetapi merupakan
penafsiran terhadap sebagian pengamatan, sebab pengamatan manusia tidak mungkin
bersifat sempurna. Oleh karena itu semua penafsiran bersifat “tambahan” yang
mungkin berubah dengan berubahnya pengamatan.
Para sarjana masih menganggap bahwa hipotesis yang
menafsirkan pengamatan tidak kurang nilanya dari hakekat yang diamati. Mereka
tidak dapat mengatakan : Kenyataan yang diamati adalah satu-satunya “ilmu” dan
semua hal yang berada di luar kenyataan bukan ilmu, sebab tidak dapat diamati.
Sebenarnya apa yang disebut dengan iman kepada yang ghaib oleh orang Mukmin,
adalah iman kepada hakekat yang tidak dapat diamati. Hal ini tidak berarti satu
kepercayaan buta, tetapi justru merupakan interpretasi yang terbaik terhadap
kenyataan yang tidak dapat diamati oleh para sarjana.
Setelah membahas tentang kenyataan yang dapat diamati
sampailah pada suatu kesimpulan bahwa penafsiran agama terhadap alam merupakan
kebenaran mutlak yang tidak berubah sepanjang masa. Berbeda dengan teori yang
dibuat manusia sejak beberapa abad yang lalu, sedikit ataupun banyak ada yang
ditolah, bahkan menjadi sumber keraguan dewasa ini. Di samping itu setiap
langkah yang diambil dan setiap diadakan pengamatan justru semakin menjelaskan
kebenaran agama.
- Keberadaan Alam Membuktikan Adanya Tuhan
Bukti yang paling jelas adanya Allah adalah ciptaan-Nya,
serta hal itu merupakan pengetahuan yang paling mantap. Bukti ini mendorong
kita untuk beriman bahwa tidak diragukan lagi alam ini mempunyai Tuhan. Kita
tidak mampu memahami diri kita dan memberikan penafsiran tentang kenyataan alam
tanpa adanya iman kepada Allah.
Adanya alam serta organisasinya yang menakjubkan dan
rahasia-rahasianya yang pelik, tidak boleh tidak semuanya memberikan penjelasan
bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah menciptakannya, suatu “Akal” yang tidak
ada batasnya. Setiap manusia normal percaya bahwa dirinya “ada” dan percaya
pula bahwa ala mini “ada”. Dengan dasar itu dan dengan kepercayaan inilah
dijalani setiap bentuk kegiatan ilmiah dan kehidupan.
Jika kita percaya tentang eksistensi alam, secara logika
kita harus percaya tentang adanya pencipta alam. Pernyataan yang mengatakan :
“Percaya adanya makhluk, tetapi menolak adanya Khaliq, “adalah suatu pernyataan
yang tidak benar. Kita belum pernah mengetahui adanya sesuatu yang berasal dari
tidak ada tanpa diciptakan. Segala sesuatu bagaimana pun ukurannya, pasti ada
penyebabnya. Oleh karena itu bagaimana kita akan percaya bahwa alam semesta
yang demikian luasnya, ada dengan sendirinya tanpa pencipta?
- Pembuktian adanya Tuhan dengan Pendekatan Fisika
Sampai abad ke 19 pendapat yang mengatakan bahwa alam
menciptakan dirinya sendiri (alam bersifat azali) masih banyak pengikutnya.
0 komentar:
Posting Komentar